Selasa, 25 Januari 2011

KEUTAMAAN QIRADH

1.    KEUTAMAAN QIRADH (PINJAM MEMINJAM)
makalah pendidikan
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan di antara sekian banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan hari kiamat; barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang didera kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1888, Muslim IV: 2047 no: 2699, Tirmidzi IV: 265 no: 4015, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no: 4925).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti shadaqah sekali.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1389 dan Ibnu Majah II: 812 no: 2430).
2.    PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda, “Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1956, Ibnu Majah II: 806 no: 2412, Tirmidzi III: 68 no: 1621).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6779 al-Misykah no: 2915 dan Tirmidzi II: 270 no: 1084).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1985, Ibnu Majah II: 807 no: 2414).
Dari Abu Qatadah ra bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1197, Muslim III; 1501 no: 1885, Tirmidzi III: 127 no: 1765 dan Nasa’i VI: 34).
3.    ORANG YANG MENGAMBIL HARTA ORANG LAIN DENGAN NIAT HENDAK DIBAYAR ATAU DIRUSAKNYA
Dari Abi Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barangsiapa mengambil harta orang lain dengan niat hendak menunaikannya, niscaya Allah akan menunaikannya, dan barang siapa yang mengambilnya dengan niat hendak merusaknya, niscaya Allah akan merusakkan dirinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 598 dan Fathul Bari V: 53 no: 2387).
Dari Syu’aib bin Amr, ia berkata: Shuhaibul Khair ra telah bercerita kepada kami, dari Rasulullah saw, bahwasannya Beliau bersabda, “Setiap orang yang menerima pinjaman dan ia bertekad untuk tidak membayarnya, niscaya ia bertemu Allah (kelak) sebagai pencuri.” (Hasan Shahih: Shahihul Ibnu Majah no: 1954 dan Ibnu Majah II: 805 no: 2410).
4.    PERINTAH MELUNASI HUTANG
Allah swt berfirman :
“Sesunguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisaa’: 58).
5.    MEMBAYAR DENGAN BAIK
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Adalah Nabi saw pernah mempunyai tanggungan berupa unta yang berumur satu tahun kepada seorang laki-laki. Kemudian ia datang menemui Nabi saw lalu menagihnya. Maka Beliau bersabda kepada para Shahabat, “Bayar (hutangku) kepadanya.” Kemudian mereka mencari unta yang berusia setahun, ternyata tidak mendapatkannya, melainkan yang lebih tua. Kemudian Beliau bersabda, “Bayarkanlah kepadanya.” Lalu jawab laki-laki itu, “Engkau membayar (hutangmu) kepadaku (dengan lebih sempurna), niscaya Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam membayar hutang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 225, Fathul Bari IV: 58 no: 2393, Muslim III: 1225 no: 1601, Nasa’i VII: 291 dan Tirmidzi II: 389 no: 1330 secara ringkas).
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Saya pernah menemui Nabi saw di dalam masjid Mis’ar berkata, “Saya berpendapat dia (Jabir) berkata: Di waktu shalat dhuha, kemudian Rasulullah bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan Rasulullah pernah mempunyai tanggungan hutang kepadaku, lalu Rasulullah membayar lebih kepadaku.” (Shahih: Fathul Bari V: 59 no: 2394, ‘Aunul Manusia’bud IX: 197 no: 3331 kalimat terakhir saja).
Dari Isma’il bin Ibrahim bin Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi dari bapaknya dari datuknya, bahwa Nabi saw pernah meminjam uang kepadanya pada waktu perang Hunain sebesar tiga puluh atau empat puluh ribu. Tatkala Beliau tiba (di Madinah), Beliau membayarnya kepadanya. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memberi barakah kepadamu pada keluarga dan harta kekayaanmu; karena sesungguhnya pembayaran hutang itu hanyalah pelunasan dan ucapan syukur alhamdulillah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1968 dan Ibnu Majah II: 809 no: 2424, dan Nasa’i VII: 314).
6.    MENAGIH HUTANG DENGAN SOPAN
Dari Ibnu Umar dan Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menuntut haknya, maka tuntutlah dengan cara yang baik, baik ia membayar ataupun tidak bayar.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1965 dan Ibnu Majah II: 809 no: 2421).
7.    MEMBERI TANGGUH KEPADA ORANG YANG KESULITAN
Allah swt berfirman:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan, menshadaqahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 280)
Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Telah meninggal dunia seorang laki-laki.” Kemudian ia ditanya, “Apakah yang pernah engkau katakan (perbuat) dahulu?” Jawab Beliau, “Saya pernah berjual beli dengan orang-orang, lalu saya menagih hutang kepada orang yang berkelapangan dan memberi kelonggaran kepada orang berada dalam kesempitan, maka diampunilah dosa-dosanya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1963 dan Fathul Bari V: 58 no: 2391).
Dari Abul Yusri, sahabat Nabi saw, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dalam naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah memberi tangguh kepada orang yang berada dalam kesempitan atau bebaskan darinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1963 dan Ibnu Majah II: 808 no: 2419).
8.    PENUNDAAN ORANG MAMPU ADALAH ZHALIM
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu adalah suatu kezhaliman.” (Muttfaaqun ’alaih: Fathul Bari V: 61 no: 2400, Muslim III: 1197 no: 1564 ‘Aunul Ma’bud IX: 195 no: 3329, Tirmidzi II: 386 no: 1323, Nasa’I VII: 317 dan Ibnu Majah II: 803 no: 2403).
9.    BOLEH MEMENJARAKAN ORANG YANG ENGGAN MELUNASI HUTANG PADAHAL MAMPU
Dari Amr bin asy-Syuraid dari bapaknya Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu (membayar) dapat menghalalkan kehormatannya dan pemberian sanksi kepadanya.” (Hasan: Shahih Nasa’i no: 4373, Nasa’i VII: 317, Ibnu Majah II: 811 no: 2427, ‘Aunul Ma’bud X: 56 no: 3611 dan Bukhari secara mu’allaq lihat Fathul Bari V: 62).
10.    SETIAP PINJAMAN YANG MENDATANGKAN MANFA’AT ADALAH RIBA
Dari Abu Buraidah (bin Abi Musa), ia bercerita, “Saya pernah datang di Madinah, lalu bertemu dengan Abdullah bin Salam. Kemudian ia berkata kepadaku, “Marilah pergi bersamaku ke rumahku, saya akan memberimu minum dengan sebuah gelas yang pernah dipakai minum Rasulullah saw dan kamu bisa shalat di sebuah masjid yang Beliau pernah shalat padanya.” Kemudian aku pergi bersamanya (ke rumahnya), lalu (di sana) ia memberiku minum dengan minuman yang dicampur tepung gandum dan memberiku makan dengan tamar, dan aku shalat di masjidnya. Kemudian ia menyatakan kepadaku, “Sesungguhnya engkau berada di tempat di mana praktik riba merajalela, dan di antara pintu-pintu riba adalah seorang di antara kamu yang memberi pinjaman (kepada orang lain) sampai batas waktu (tertentu), kemudian apabila batas waktunya sudah tiba, orang yang menerima pinjaman itu datang kepadanya dengan membawa sekeranjang (makanan) sebagai hadiah, maka hendaklah engkau menghindar dari sekeranjang (makanan) itu dan apa yang ada di dalamnya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 235 dan Baihaqi V: 349).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 694 - 702. 
Terakhir kali diperbaharui ( Thursday, 10 May 2007 )
Hukum Syirkah
Lompat ke Komentar
 Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah;
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).
An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Sumber :
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

Shalat dan Kesehatan

Shalat dan KesehatanOleh :
Beberapa seminar di Timur Tengah yang membahas kaitan antara shalat dan kesehatan berkesimpulan bahwa, ternyata rutinitas shalat yang baik tidak hanya bernilai ibadah dan ruhani –menggugurkan kewajiban, lalu mendapat pahala, menenangkan jiwa dan menghilangkan stress, tapi juga berdampak sangat positif bagi kesehatan dan kebugaran tubuh. Di antara faedahnya:
-         shalat bisa mencegah serangan jantung
-         menghindarkan pendarahan otak
-         membantu kinerja paru-paru
-         memompa efektivitas sistem kerja ginjal
-         shalat juga berguna menguatkan otot-otot tubuh dan sendi
-         membantu relaksasi
-         meningkatkan kelenturan
-         memperlancar peredaran darah, sehingga fungsi organ tubuh berjalan baik.
Ringkasnya, semua persiapan demi melaksanakan shalat, baik itu syarat shalat: mulai wudlu dan sebagainya, juga gerakan-gerakan yang ada dalam shalat, baik yang bersifat wajib, maupun yang sunah, berdampak membantu meningkatkan kualitas kerja organ-organ tubuh, tanpa terkecuali. Kesimpulan ini, salah satunya mengemuka dalam muktamar ke-7, Organisasi al’Ijaz al-Ilmi -sebuah lembaga yang mengkhususkan diri meneliti rahasia dan keajaiban ilmu pengetahuan yang ada dalam kandungan al-Qur’an dan hadis, di Dubai, Qatar. Dalam muktamar itu, misalnya, menjelaskan Kenapa sih Islam mewajibkan wudlu? Kenapa sih Islam mewajibkan shalat? Apa dampaknya bagi kesehatan?
Wudlu dan Kesehatan
Begitu air dingin membasuh anggota wudlu, maka secara otomatis pembuluh darah bereaksi untuk bekerja lebih cepat dan gesit mengalirkan darah ke seluruh tubuh sebagai reaksi alami menormalisasi suhu tubuh, akibat bertemunya suhu panas dalam tubuh dengan dinginnya guyuran air wudlu. Saat itu juga darah mengalir ke daerah seputar wajah, kedua tangan dan tepak kaki dengan sangat lancar.
Ketika aliran darah mengalir ke seluruh tubuh, termasuk pada bagian kulit, maka kelenjar peluh langsung bekerja menyedot darah-darah kotor dan membuangnya keluar tubuh melalui bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar kulit. Begitu darah kotor itu keluar, walau tidak kasat mata, maka langsung disapu air wudlu –inilah mungkin rahasianya kenapa kita disunahkan membasuh tiga kali pada setiap anggota wudlu. Dampaknya kulit sekitar wajah dan lainnya nampak cantik dan putih berseri sehingga penuaan dini bisa terhindarkan.
Biasanya, proses penyaringan dan pembuangan darah-darah kotor dilakukan oleh ginjal, kemudian dibuang bersamaan dengan air seni. Namun ketika seseorang melakukan wudlu, darah-darah kotor itu tertarik dan terkonsentrasi pada sekitar anggota-anggota wudlu yang sudah dibasuh dan kemudian disapu bersih oleh air wudlu berikutnya –basuhan kedua dan ketiga. Artinya, berwudlu ternyata mengurangi sedikit beban berat kerja ginjal dan dampaknya bisa meminimalisir kemungkinan terkena risiko sakit ginjal.
Salah tugas jantung yang paling berat adalah memompa darah supaya mengalir menuju wajah, telapak tangan, dan kaki. Kenapa? Karena posisi ketiga anggota tubuh tersebut jauh dari posisi jantung –yang berada di rongga dada. Begitu tersentuh air wudlu yang dingin, maka jantung langsung bereaksi dan kemudian memompa darah dengan kuat menuju tiga anggota badan yang berjauhan itu. Dengan demikian wudlu tak hanya semata kewajiban agama, tapi juga membantu meringankan beban berat kerja jantung. Akhirnya risiko terkena serangan jantung pun relatif bisa terhindarkan.
Wudlu dengan air dingin, juga membantu merangsang dan mengefektifkan sistem kerja syaraf. Rangsangan tadi, akan berdampak positif pada kinerja syaraf pusat yang berada di otak. Tak heran makanya kalau setelah wudlu kita selalu merasakan suasana segar, yang tak dirasakan sebelum wudlu. Dengan demikian faedah lain dari wudlu adalah sanggup mengurangi ketegangan jiwa, stress, mengurangi rasa sedih, rasa khawatir dan rasa marah. Faedah inilah mungkin yang menjelaskan kenapa Rasulullah Saw, selalu menganjurkan kita untuk segera berwudlu ketika kita sedang emosi, terutama lagi pada hakim yang sedang dalam proses mengadili sebuah perkara.
Shalat dan Kesehatan
Coba perhatikan dan renungkan gerakan-gerakan olahraga yang direkomendasikan para pakar kesehatan, hampir semuanya tercakup dalam gerakan shalat. Makanya, seperti halnya olahraga, gerakan shalat juga akan membantu memperingan kinerja jantung, memperlancar asupan oksigen ke dalam tubuh dan membuat otak menjadi segar bugar.
Shalat juga membantu kerja jantung. Ia selalu bekerja tanpa henti mengatur sirkulasi darah dan mengalirkannya kepada semua organ tubuh. Hal yang dirasa paling berat dari kinerja jantung adalah bagaimana memompa dan mengalirkan darah menuju organ tubuh yang posisinya lebih atas dari jantung. Misalnya otak, mata, hidung, lisan dan sebagainya. Karena posisi jantung sendiri ada dirongga dada. Artinya dengan fungsi harus mengalirkan darah kepada daerah yang lebih tinggi, jantung harus bekerja keras melawan gaya gravitasi bumi. Dengan melakukan sujud ketika shalat maka, sadar atau tak sadar, kerja jantung akan terbantu dalam tugasnya mengalirkan darah pada sekitar organ-organ yang posisinya lebih tinggi. Karena saat bersujud otomatis organ-organ yang tadinya di atas jantung itu, menjadilebih rendah posisinya. Maka, anjuran Islam untuk “agak memperlama” sujud dengan melakukan doa, selain bernilai ibadah juga menyehatkan tubuh karena membantu meringankan beban kerja jantung. Saat bersujud pompaan aliran darah persis seperti mobil yang ada pada posisi jalan menurun –cepat dan lancar. Dengan demikian aliran darah makin cepat mengalir dan berkumpul di pembuluh darah besar atau aorta. Ketika bangkit dari sujud, maka darah yang tadinya berkosentrasi di aorta akan mengaliri pembuluh-pembuluh darah di sekujur tubuh. Jantung pun akhirnya merasa terbantu.
Posisi sujud juga membantu kinerja paru-paru untuk melakukan asupan oksigen pada tubuh dan membuang karbondioksida. Juga membantu sirkulasi darah dari jantung ke paru-paru dan sebaliknya. Pada saat sujud, beban kerja jantung agak berkurang. Artinya jantung bisa sedikit beristirahat dan efeknya hal ini tentu akan mengurangi resiko terkena serangan jantung mendadak.
Perlu diketahui juga, bahwa shalat yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusu’, dan ikhlas akan menumbuhkan persepsi, dan motivasi positif dan terhindar dari penyakit jantung koroner atau prediksi prognosis infark miokard akut. Gejala yang bisa dilihat bahwa pengamal shalat yang baik, akan menghadapi hidup secara realistis dan optimis. Dengan shalat yang baik kita akan merasakan bahwa Allah SWT, adalah segala-galanya. Dan dengan demikian kita akan terhindar dari rasa takut dan khawatir.  
Namun Islam sebagai agama moderat tentu tak mewajibkan umatnya melaksanakan shalat sepanjang hari. Islam selalu memerintahkan untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan agama dan kebutuhan duniawi.
Walhasil, shalat selain bernilai ibadah juga membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Kelebihan shalat, karena dilakukan dengan lentur dan tenang, maka cocok buat semua usia. Ia tak berisiko mencederai tubuh, bahkan menyehatkan. Hanya saja, kesimpulan tak berarti Anda disarankan untuk tidak berolahraga atau bahkan disalahfahami bahwa, Islam tak memperbolehkan olahraga. Sama sekali tidak.
Puasa: Ibadah yang menyehatkan
Kebanyakan umat Islam menjalankan puasa semata-mata sebagai sebuah ibadah dan kewajiban yang tidak boleh dilewatkan. Banyak yang belum tahu kalau puasa itu sebetulnya sangat baik untuk kesehatan. Published on September 10, 2008 in Health
- advertisement -




Written by freakazoid
Karena tidak ada asupan makanan, maka ketika puasa tubuh kita mengalami kekurangan energi. Sehingga tubuh harus mengganti sumber energinya (biasa disebut autolisis). Autolisis adalah proses mengubah lemak yang disimpan di tubuh untuk menghasilkan energi. Selain berkurangnya lemak, puasa juga memiliki fungsi detoksifikasi atau membuang racun dari tubuh melalui usus, hati, ginjal, paru-paru, kelenjar dan kulit. Proses ini sebetulnya sudah ada di tubuh manusia, namun puasa membuat tubuh lebih giat dalam membuang racun-racun yang tidak dibutuhkan.. Manfaat berikutnya dari puasa adalah penyembuhan. Saat berpuasa system pencernaan kita tidak banyak bekerja, sehingga energi yang biasa digunakan dalam proses pencernaan akan lebih banyak dialihkan ke metabolisme dan system kekebalan tubuh. Inilah sebabnya mengapa ketika terluka hewan tidak mau makan dan ketika sakit manusia enggan makan. Karena energi untuk mencerna lebih dibutuhkan untuk penyembuhan dan kekebalan. Sebuah penelitian juga membuktikan bahwa puasa dapat membantu peremajaan sel-sel tubuh dan menambah rentang hidup. Sebagian dari fenomena ini disebabkan oleh manfaat-manfaat yang sudah dijelaskan diatas. Ritme metabolisme tubuh yang berkurang, produksi protein yang efisien dan system kekebalan tubuh yang membaik adalah diantara manfaat berpuasa yang sifatnya jangka panjang.
PENTINGNYA PENDIDIKAN SEKS BAGI KELUARGA, REMAJA DAN ANAK Nov 25, '07 4:35 PMfor everyone
PENGANTAR
Selayaknyalah orangtua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra dan putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan perkembangan (fisik, emosional, intelektual, seksual, sosial dan lain- lain) yang harus mereka lalui, dari anak-anak hingga mereka dewasa. Tanggungjawab orang tua tidak hanya mencakup atau terbatasi pada kebutuhan materi saja, tetapi sesungguhnya mencakup juga kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk didalamnya aspek pendidikan seksual. Dimana pemahaman dan pemilihan metode pendidikan seksual yang tepat akan mengantarkan anak menjadi insan yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang dan sadar akan ancaman dan peringatan dari perbuatan zina serta memiliki pegangan agama yang jelas.
Karena pendidikan seks berkaitan erat dengan aqidah. Bagi orang tua muslim, pendidikan seks sebaiknya dibingkai dengan nilai akhlak dan etika Islam. Dalam makalah ini, kita tidak akan membahas masalah mengenai cara bersetubuh atau persetubuhan yang aman, seks yang dapat mencegah kehamilan dan sebagainya, karena pendidikan seks yang kita inginkan adalah agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawabnya, halal haram yang berkaitan dengan organ seks, dan panduan menghindari penyimpangan prilaku seksual sejak dini.
Akses informasi seks yang sangat mudah dari berbagai media akan mempercepat hancurnya generasi penerus bangsa.  Informasi tersebut dapat diperoleh dengan sangat mudah baik lewat internet, HP, buku komik dewasa dan anak, televisi (sinetron, film), CD, play station, serta media lainnya,  menyerbu anak-anak yang dikemas sedemikian rupa sehingga perbuatan seks dianggap lumrah dan menyenangkan.
Jalan satu-satunya menyikapi fenomena ini adalah kita harus membentengi anak-anak kita dengan nilai-nilai seksualitas yang benar, yang dilandasi dengan agama.
Oleh sebab itulah, sebagai orang tua, sangat perlu untuk mengetahui apa itu pendidikan seks? Seberapa penting pendidikan seks bagi pendidikan anak-anaknya? Bagaimana Islam mengajarkan tentang pendidikan seks buat umatnya? Apa tujuan pendidikan seks dalam islam? Adakah tahapan umur dalam menyampaikan pendidikan seks pada anak?Apa arti pendidikan seks bagi remaja?
 
Definisi pendidikan Seks
Baiklah kita mulai dengan definisi pendidikan seks. Terdapat bermacam-macam definisi Pendidikan seks, yaitu:
Pendidikan seks di negara-negara sekuler menitik beratkan pada perilaku seks yang aman dan sehat dan tak mengajari anak-anak tentang menghindari seks bebas, sehingga tidak bisa mengurangi timbulnya penyakit menular seksual (PMS) dan kehamilan pra nikah (Majalah Nikah, Vol 3, No. 5 hal. 73-75)
Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama (DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta).
Pendidikan seks menurut Islam adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina) (Muhammad Sa’id Mursi
 
Pada makalah ini saya membatasi pembahasan pendidikan seks yang sesuai definisi terakhir yaitu melatih umat Islam, terutama anak anak dan remaja agar menyadari bahwa kebutuhan atau kegiatan seksual perlu dipenuhi secara baik dan halal.
 
Pendidikan Seks Berdasarkan Usia
Pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan pendidikan seks dapat diberikan? Sesungguhnya tidak ada batasan, menurut sebagian ahli dalam pendidikan seks, pendidikan seks dapat mulai diberikan ketika anak mulai bertanya tentang seks dan kelengkapan jawaban bisa diberikan sesuai dengan seberapa jauh keingintahuan mereka dan tahapan umur sang anak.
Menurut Muhammad Sa’id Mursi, pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan akhlak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebaginya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya:
Memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dan laki-laki pada umur 10 tahun.
Mengajarkan mereka meminta izin ketika memasuki kamar orangtuanya. Terutama dalam tiga waktu: sebelum shalat fajar, waktu Zhuhur dan setelah shalat Isya (QS. 24 : 58-59).
 
Namun ada juga sebagian ahli yang mengklasifikasikan perkembangan anak dalam beberapa fase, yaitu:
Fase pertama atau Tamyiz (masa pra pubertas). Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan mengenali identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi pelajaran tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki kamar orangtuanya.
Fase kedua atau Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun. Pada tahap umur ini, anak harus diberikan penjelasan mengenai fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat, kesopanan, akhlak pergaulan laki-laki dan menjaga kesopanan serta harga diri. Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang memperlihatkan perempuan-perempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
Fase ketiga atau Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun. Pada tahap ini adalah paling kritis dan penting, karena naluri ingin tahu dalam diri anak semakin meningkat ditambah dengan tahapan umur yang semakin menampakkan kematangan berfikir. Pada masa ini juga anak sudah siap menikah (ditandai dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi pelajaran tentang etika hubungan seksual.
Fase keempat (masa pemuda), setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan pernikahan.
Fase kelima (analisa).
 
Sedangkan menurut Clara Kriswanto pendidikan seks berdasarkan usia sebagai berikut:
Usia 0-5 tahun
Bantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya
Beri sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sàyang dari orangtuanya secara tulus.
Bantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau di kamarnya. Orangtua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya yang tidak sèmua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
Ajari anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan wanita. Jelaskan proses tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Dari sini bisa dijelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Tentu saja harus dilihat perkembangan kognitif anak. Yang penting orangtua tidak membohongi anak misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa burung. Cobalah memosisikan diri Anda sebagai anak pada usia tersebut. Cukup beritahu hal-hal yang ingin diketahuinya. Jelaskan dengan contoh yang terjadi pada binatang.
Hindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.
Ajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya.
Bantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau pembicaraan soal seks adalah pribadi.
Beri dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orangtua untuk bertanya soal seks
Usia 6-9 tahun
Tetap menginformasikan masalah seks kepada anak, meski tidak ditanya.
Jelaskan bahwa setiap keluarga mempunyai nilai-nilai sendiri yang patut dihargai. Seperti nilai untuk menjaga diri sebagai perempuan atau laki-laki serta menghargai lawan jenisnya.
Berikan informasi mendasar tentang permasalahan seksual
Beritahukan kepada anak perubahan yang akan terjadi saat mereka menginjak masa pubertas.
Usia 10-12 tahun
Bantu anak memahami masa pubertas.
Berikan penjelasan soal menstruasi bagi anak perempuan serta mimpi basah bagi anak laki-laki sebelum mereka mengalaminya. Dengan begitu anak sudah diberi persiapan tentang perubahan yang bakal terjadi pada dirinya.
Hargai privasi anak.
Dukung anak untuk melakukan komunikasi terbuka.
Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap individu itu berbeda-beda. Bantu anak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek kognitif dan emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim.
Beri pemahaman kepada anak bahwa banyak cara untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang tanpa perlu berhubungan intim.
Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa alat kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau menjarangkan kelahiran.
Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual.
Usia 13-15 tahun
Ajarkan tentang nilai keluarga dan agama.
Ungkapkan kepada anak kalau ada beragam cara untuk mengekspresikan cinta.
Diskusikan dengan anak tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan hubungan seks.
Usia 16-18 tahun
Dukung anak untuk mengambil keputusan sambill memberi informasi berdasarkan apa seharusnya ia mengambil keputusan itu.
Diskusikan dengan anak tentang perilaku seks yang tidak sehat dan ilegal.
 
Pentingnya Pendidikan seks bagi remaja
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.  Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.  Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa.  Sebaliknya,  jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini  “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.
Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi:
Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi perempuan.
Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dengan Allah SWT.
Perasaan takut hamil.
Lemahnya kepercayaan antara dua pihak.
Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at.
Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga kepada keluarganya.
Bagaimana solusinya? DR. Akram Ridho Mursi memberikan solusinya, sebagai berikut:
Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu dan menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntuntan untuk memenuhi hasrat biologis didorong oleh dua sebab:
Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi).
Intern, dengan jalan berpikir dan bertindak.
Kedua, dengan menjaga diri (Isti’faaf). Hal ini merupakan bagian dari proses sebagai berikut:
Memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al Hajj: 77)
Kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat.
Kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya. Al Alaq: 14.
Perasaan damai di rumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga.
Pengawasan yang cerdas dari orang tua.
Komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis.
Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan tanpa mahram.
 
Apa yang bisa orangtua lakukan agar  anak dan remaja tak sungkan berkomunikasi tentang seks ?
1.      Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama).
2.      Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau tabu atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang.
3.      Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain.
4.      Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya dan mudah diajak kerja sama.
5.      Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi dengan mereka.
6.      Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan anda.
7.      Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
8.      Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang, maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi yang siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya. Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini, dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan pada anak..
Penutup
Sedemikian mendesaknya pendidikan seks yang sebenarnya bagi anak-anak dan remaja. Tentunya bukanlah pendidikan seks yang lebih menekankan pada sisi aman dan sehat dalam berhubungan seks bebas. Pendidikan seks seperti ini tidak akan mengurangi timbulnya penyakit kelamin atau hamil pra nikah, karena tidak mengubah kebiasaan seks mereka.
Kita menginginkan pendidikan seks yang sesuai dengan fitrah sebagai manusia, ingin menjaga harga diri dan kehormatan diri sesuai dengan yang diingini oleh Allah SWT. Bukankah Islam sudah mencontohkan dan mengajarkan pencegahan prilaku seksual yang terlarang sejak dini?
Firman Allah dalam surah Al Isra’ ayat 32, yang artinya
Dan janganlah kamu mendekati Zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk.
Wallahu A’lam.
PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005)
Al-Itsnayna, 20 Jumada Al-Ula 1429 H - 21:38:13
oleh: Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta


[html] PENDAHULUAN.Guru dan dosen bagi masyarakat awan selama ini dipahami sebagai orang yang pekerjaannya mengajar, demikian juga halnya dengan dosen. Meskipun sama-sama berprofesi mengajar.....

PENDAHULUAN.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Guru dan dosen bagi masyarakat awan selama ini dipahami sebagai orang yang pekerjaannya mengajar, demikian juga halnya dengan dosen. Meskipun sama-sama berprofesi mengajar, sisi pembedanya, guru mengajar pada lembaga pendidikan sekolah dari pendidikan usia dini sampai pendidikan menengah, sedangkan dosen mengajar pada pendidikan tinggi. Artinya, profesi yang dinamakan guru dan dosen, tidaklah begitu masalah dan tidak menjadikan profesi dosen lebih berderajat dari pada guru. Masalahnya jadi lain, apabila guru dan dosen yang semula dipahami sebagai orang yang pekerjaanya mengajar bergeser menjadi pendidik (pendidik profesional).PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Pergeseran pengertian guru dan dosen dari orang yang pekerjaannya mengajar menjadi pendidik profesional, bagi sebagian orang mungkin tidak begitu dimasalahkan, namun bila dikaji lebih dalam sesungguhnya memberikan pengaruh yang luar biasa bagi arah pengembangan pendidikan di Indonesia, bahkan akan membentuk suatu sosok guru dan dosen dimasa datang. Apalagi, pergeseran pemahaman terhadap guru dan dosen dari mengajar menjadi pendidik sudah menjadi keputusan hukum sebagaimana dituangkan dalam UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta UU No.14 Tahun 2005 tidak memberikan penjelasan, mengapa memilih atau menempatkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional ketimbang sebagai orang yang pekerjaannya mengajar, kecuali hanya mengacu kepada UU No.Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga professional. Pengertian itu kemudian ditarik pembentuk UU No.14 Tahun 2005 dalam memberikan pengertian terhadap guru dan dosen. Pertanyaannya, apakah pekerjaan mengajar lebih sempit ruang lingkupnya dari pendidik ? Apakah rumusan pendidik profesional itu lahir didorong oleh pemikiran bahwa tidak semua pendidik profesional. Hal yang terakhir disebut, saya pikir akan mengundang perdebatan, tetapi intinya bukanlah kemasalah itu, melainkan apa konsekuensi bagi guru dan dosen yang berkedudukan sebagai pendidik profesional yang kemudian dihadapkan kepada sejumlah ketentuan hukum sebagaimana termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dalam menjalankan pekerjaan atau profesi sebagai guru dan dosen.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Dari mengajar ke Pendidik Profesional.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Sejak dari dulu keberadaan guru dan dosen mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat, dan dalam bidang pendidikan merupakan faktor kunci dari keberhasilan tujuan pendidikan dan kualitas peserta didik. Meskipun sedemikian strategis peran guru dan dosen, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka kita belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur tentang guru dan dosen. Dari sisi ini, kelahiran UU Nomor 14 Tahun 2005 pantas disambut baik, terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangannya. Bagaimana pun strategisnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya, ia tidak saja melahirkan kerumitan dalam pengembangan profesi, juga melemahkan etos kerja guru dan dosen. Dalam konteks ini haruslah dipahami, bahwa UU No.14 Tahun 2005 tidak terlepas dari fungsinya sebagai hukum.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan UU No.14 Tahun 2005 meliputi fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan, fungsi mendorong perubahan sosial. Atas dasar itu, maka dengan diundangkannya UU No.14 Tahun 2005, maka guru dan dosen telah memiliki pijakan dan pegangan dalam menjalankan profesi. Guru dan dosen yang selama ini cenderung hanya dipandang sebagai profesi mulia dan strategis, namun belum diikuti dengan pengembangan dan peningkatan profesi yang berkualiatas dan bermartabat. Disisi lain guru dan dosen dituntut beban untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Diakui memang, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang menyentuh pengembangan dan peningkatan profesi guru, tetapi hal itu lebih kepada aspek prosedur administrative profesi dan bukan menyakut profesi guru dan dosen itu sendiri. Dari sisi inilah saya pikir arti penting kehadiran UU No.14 Tahun 2005.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Pengundangan UU No.14 Tahun 2005 mau tidak mau membawa perubahan mendasar pada dunia profesi guru dan dosen dan dunia pendidikan dimasa datang. Hal ini dapat dipahami dengan mudah sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 dan 5 UU No.14 Tahun 2005 yang pada intinya menyatakan;
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkat mutu pendidikan nasional.
Meletakan kedudukan dan fungsi guru dan dosen yang demikian adalah guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Karena itu menjadi logis, bahwa tercapainya tujuan pendidikan nasional yang diharapkan, hanya apabila guru dan dosen benar-benar menjadi tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Disisi lain, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk diangkat menjadi guru dan dosen pada satuan pendidikan tertentu, melainkan hanya bagi mereka yang telah memperoleh sertifikat pendidik.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas selain berkonsekuensi kepada pengelolaan sumber daya guru dan dosen, manajemen pendidikan, dipihak lain pihak sekaligus UU No.14 Tahun 2005 menghendaki terwujudnya peserta didik yang bermutu. Dalam hubungan ini jelas penempatan guru dan dosen sebagai pendidik profesional, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal finasial, tetapi berjalan secara integral dengan kualifikasi, komptensi dan sertifikasi pendidik.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesinal, hanya dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dijalankan dengan konsisten dan utuh.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
1.Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2.Guru berkewajiban ;
merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi pembelajaran.
Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Bertindak objektif dan tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan;
Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
4. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menanda tangani pertanyaan kesanggupan untuk ditugaskan didaerah khusus paling sedikit 2 tahun.
5. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
6. Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohoni dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
7. Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen wajib mengikuti proses seleksi
8. Dosen berkewajiban:
Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
Merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Bertindak objektif dan tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan;
Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
9. Tenaga kerja asing yang diperkerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.10. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
11. Pemerintah Wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah
12. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah sesuai dengan kewenangan.
13. Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti
14. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat
15. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
16. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
17. Pemerintah, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terlenggaranya pendidikan yang bermutu.
18. Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompotensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
19. Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
20. Pemerintah, pemerintah daerah masyarakat organisasi profesi dan atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
21. Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakar, wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun komptensinya untuk menjamin keberlansungan pendidikan.
22. Satuan Pendidikan yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
23. Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen
24. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru.
Dari sejumlah kewajiban guru dan dosen, kewajiban pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata untuk mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional membutuhkan perhatian dan kebijakan yang sungguh-sungguh dari guru dan dosen, dari pemerintah dan masyarakat. Ini pun baru hanya didasarkan pada sejumlah ketentuan yang dinyatakan dengan tegas dalam UU No.14 Tahun 2005 dengan kata “WAJIB”. Penegasan demikian, memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dari kebijakan nasional dalam upaya mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Namun persoalannya, ketentuan-ketentuan yang imperatif dalam UU No.14 Tahun 2005 itu secara konsisten dilaksanakan guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat. Ketentuan yang imperatif dalam UU guru dan dosen tersebut, ternyata tidak disertai dengan ketentuan yang memberikan ruang bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang sudah diberi penekanan “wajib” dalam UU guru dan dosen.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta UU guru dan dosen hanya memuat saksi terhadap beberapa hal saja, yakni:PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta • Apabila guru tidak menjalankan tugas sebagai sesuai kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 20 UU No.14 Tahun 2004PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta • Apabila Dosen tidak menjalankan tugas sesuai kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 60 UU No.14 Tahun 2004PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta • Apabila guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud pasal 22 UU No.14 Tahun 2005 tidak melaksanakan tugasnya.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta • Apabila dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud pasal 62 UU No.14 Tahun 2005 tidak melaksanakan tugasnya.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta • Apabla penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 24, 34, 39, 63 ayat (4), 71 dan Pasal 75 UU No 14 Tahun 2005PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Memahami pengaturan saksi dalam UU guru dan dosen, ternyata tidak ada saksi apabila terjadi pelanggaran atas pasal 8,13, 24, 27, 41 ayat 3, 44 ayat 5, 45 dan pasal 65 UU No.14 Tahun 2005. Bahkan dari ketentuan yang imperatif yang tidak memiliki sanksi itu justeru menjadi faktor kunci dan titik tolak bagi terlaksananya guru dan dosen sebagai pendidik profesional dan mutu pendidikan. Misalnya saja ketentuan Pasal 8 UU No.14 Tahun 2005 yang menentukan, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan sehat jasaman dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, namun apabila ternyata didalam penyelenggaraan pendidikan guru dan dosennya tidak memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik, tidak ada saksi. Kondisi ketentuan hukum yang “setengah hati” ini untuk dilaksanakan. Kalau pun telah dirumuskan secara imperatif, tetapi tidak ada sanksi apabila tidak dilaksanakan atau penyelenggaraan pendidikan yang sudah berjalan ternyata guru dan dosen belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Meskipun UU No.14 Tahun 2005 telah menjadi hukum positif dan menjadi acuan dalam pengelolaan guru dan dosen sebagai pendidik profesional, namun dapat dikatakan UU guru dan dosen belum sepenuhnya mampu memberikan stimulan bagi terwujudnya guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Ini pun baru dilihat dari sisi kewajiban, belum lagi bagaimana tugas dan dan tanggung jawab guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan. Apalagi menyangkut hak, penghargaan dan penyediaan sarana dan prasana bagi guru dan dosen dalam memacu eksistensi dirinya sebagai pendidik profesional. Artinya, kebijakan-kebijakan yang sudah dituangkan dalam UU guru dan dosen sangat tergantung pada kemauan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta UU No.14 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksana.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Menaruh harapan bagi terwujudnya guru dan dosen sebagai pendidik profesional adalah harapan semua orang, termasuk harapan guru dan dosen itu sendiri. Kapan harapan itu akan terwujud, saya pikir sesuatu yang sulit untuk dijawab, termasuk oleh pemerintah sendiri sebagai tugas konstitusinalnya. Selain persoalan yang telah kita kemukakan sebelumnya, ternyata UU No.14 Tahun 2005 bukanlah undang-undang yang bisa dilaksanakan dengan mudah. Setidaknya agar UU guru dan dosen bisa operasional dengan optimal, setidaknya memerlukan 27 ketentuan peraturan pelaksana antara lain;PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
Peraturan pemerintah mengenai sertifikasi pendidik
Peraturan pemerintah mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik
Peraturan pemerintah mengenai hak guru
Peraturan pemerintah mengenai tunjangan profesi guru
Peraturan pemerintah mengenai tunjangan khusus guru
Peraturan pemerintah mengenai maslahat tambahan
Peraturan pemerintah mengenai penugasan warga Negara sebagai guru dalam keadaan darurat
Peraturan pemerintah mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru
Peraturan pemerintah mengenai penempatan guru dalam jabatan structural
Peraturan Pemerintah mengenai pemindahan guru
Peraturan pemerintah mengenai gutu yang bertugas di daerah kusus
Peraturan pemerintah mengenai beban kerja guru
Peraturan pemerintah mengenai pernghargaan kepada guru
Peraturan pemerintah mengenai cuti guru
Peraturan pemerintah mengenai penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi
Peraturan pemerintah mengenai hak dosen
Peraturan pemerintah mengenai tunjangan profesi dosen
peraturan pemerintah mengenai tunjangan khusus dosen
Peraturan pemerintah mengenai tunjangan kehormatan professor
Peraturan pemerintah mengenai maslahat tambahan dosen
Peraturan pemerintah mengenai penugasan warga Negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat
Peraturan Pemerinah mengenai pola ikatan dinas calon dosen
peraturan pemerintah mengenai penempatan dosen yang diangkat pemerintah pada jabatan structural
Peraturan pemerintah mengenai pemberian penghargaan kepada dosen
Peraturan pemerintah tentang mengenai cuti dosen
Peraturan Menteri mengenai kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru
Peraturan Menteri mengenai kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen
Dari sejumlah kebutuhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan perintah lansung dari UU No.14 Tahun 2005, telah ditentukan secara limitatif oleh UU guru dan dosen, dimana harus diselesaikan dalam jangka waktu 18 bulan sejak berlakunya undang-undang No.14 Tahun 2005. Masalahnya, bagaimana kalau pemerintah tersebut tidak terwujud ? Hal itu jelas suatu masalah baru dan menambah kerumitan dalam upaya mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik professional, sementara UU No.14 Tahun 2005 telah berlaku sebagai hukum positif sejak tanggal 30 Desember 2005 yang lalu. Dalam konteks ini, penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan dihadapkan pada posisi yang sulit, disatu sisi harus menjadikan UU No.14 Tahun 2005 dalam mengelola guru dan dan dosen sebagai satu komponen penting dalam mencapai tujuan pendidikan dan atau menciptakan peserta didik yang bermutu, disisi lain untuk melaksanakan tuntutan undang-undang peraturan pelaksananya belum ada, dan disisi lain pula penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan harus mempersiapkan diri. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, karena kelemahan kebijakan hukum kita selama ini justeru cenderung berada dalam kondisi ini, dimana suatu ketentuan perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi ketentuan pelaksanaannya selalu terlambat, sehingga kebijakan yang akan ditempuh satuan pendidikan dihadapakan kepada masalah-masalah dan aspek efektifitas dan efisensi seringkali terabaikan. Tidak jarang ujung-ujungnya melahirkan komplik antara pembentuk kebijakan dengan penerima kebijakan.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Sertifikasi Pendidik: Citra guru dan dosenPENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Dalam pembicaraan sebelumnya telah kita singgung, bahwa setiap guru dan dosen wajib memiliki sertikat pendidikan. Bahkan seorang guru dan dosen baru diakui sebagai tenaga professional apabila dapat memberikan bukti sertifikat pendidik. Artinya guru dan dosen baru dapat disebut sebagai pendidik professional apabila telah mendapatkan sertifikat pendidik.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Guru dan dosen akan diberikan sertifikat pendidik apabila telah memenuhi persyaratan dan dapat diperoleh dari perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Hal ini berarti setiap guru dan dosen harus berupa memperoleh sertifikat pendidik yang ketentuannya akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Persoalannya, kapan program sertifikasi pendidik itu diselenggarakan pemerintah ? UU No.14 Tahun 2005 hanya menyebutkan, bahwa pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 bulan terhitung sejak berlakunya UU No.14 Tahun 2005. Ketentuan ini jelas beban yang tidak ringan bagi pemerintah karena merupakan ruh dari UU No.14 Tahun 2005 dan dilain pihak akan memberikan image terhadap satuan pendidikan. Setidak-tidaknya apabila guru dan dosen yang melaksanakan tugasnya pada satu satuan pendidikan belum memiliki sertifikasi pendidik, maka mutu peserta didik yang dihasilkannya masih dapat digugat, atau setidak-tidaknya diragukan.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Keberadaan sertifikat pendidik bagi guru dan dosen sedemikian pentingnya, namun UU No.14 Tahun 2005 memberikan kelonggaran khusus kepada guru, dimana guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik paling lama 10 tahun sejak berlakunya UU No.14 Tahun 2005. Ketentuan ini mengisyaratkan, bahwa setidaknya baru pada tahun 2017 seluruh tenaga guru di Indonesia telah berkualifikasi pendidik profesional. Dengan demikian, maka apabila kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional merupakan bagian dari pembaruan sistem pendidikan nasional, maka hasilnya baru dapat kita lihat pada tahun 2017. Persoalannya, bagaimana kalau program sertifikasi pendidik yang menjadi pekerjaan pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya atau bagaimana kalau para guru dan dosen yang sudah tidak melaksanakan kewajibannya mendapatkan sertifikat pendidik ? Sementara UU No.14 Tahun 2005 tidak memberikan sanksi apa-apa terhadap keingkaran yang demikian.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Dampak lain, meskipun UU No.14 Tahun 2005 menyatakan akan adanya tunjangan profesi, namun secara yuridis tunjangan tersebut baru diperoleh guru dan dosen setelah memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan profesinalitasnya. Lebih jauh UU No.14 Tahun 2005 menyebutkan, bahwa guru sebagai tenaga professional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, komptensi dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Guru sebagai tenaga prfesional sebagaimana yang diinginkan UU No.14 Tahun 2005 harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik berjalan secara integral dengan kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik), komptensi kepribadian (kemampuan keperibadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik) dan komptensi professional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam), komptensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/wali dan masyarakat sekitar. Artinya, pendidik professional yang dimaksudkan UU guru dan dosen ini meminggirkan suatu kondisi guru dan dosen yang hanya sekedar mengajar materi pelajaran dalam kelas.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Berbeda dengan guru, kualifikasi akademik dosen diperoleh melalui pendidikan program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Kualifikasi akademik minimum dosen, lulusan magister bagi dosen pada program diploma dan program sarja, serta lulusan program doktor bagi dosen pada program pascasarjana. Disamping kualifikasi akademik tersebut, setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen, Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik dosen dan keahlian ditentukan oleh masing-masing sebat akademik satuan pendidikan tinggi.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Dari beberapa hal dikemukakan di atas, terlihat bahwa UU No.14 Tahun 2005 yang sudah berketatapan memutuskan guru dan dosen sebagai pendidik profesional, sesunggunnya memperlihatkan bahwa sertifikat pendidik tidaklah sekedar bermakna memiliki atau bagaimana mendapatkan sertifikat, melainkan sebagai citra guru dan dosen dimasa datang pasca lahirnya UU No.14 Tahun 2005.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta PenutupPENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Sebagai sebuah catatan atas UU No.14 Tahun 2005, saya tidak membuat suatu kesimpulan dari tulisan ini, namun setidaknya inilah tantangan profesi guru guru dan dosen yang sesungguhnya memerlukan komitmen bagi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Disisi lain, guru dan dosen sebagai pendidik profesional yang bermartabat, maka guru dan dosen yang hanya sekedar melihat profesi guru sebagai sumber nafkah sudah tidak zamannya lagi. Sejak dari dini harus sudah dipahami para guru bahwa guru adalah agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidika, sedangkan dosen sebagai tenaga profesinal adalah agen pembelajaran untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu dosen yang hanya melakukan tugas pendidikan, akan sulit memperoleh sertifikat pendidik yang pada akhirnya menurunkan mutu satuan pendidikan tinggi tempat mereka melaksanakan tugas.PENDIDIK PROFESIONAL ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN (Suatu catatan atas UU No.14 Tahun 2005) oleh Oleh: BOY YENDRA TAMIN, SH. MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang, 6 Mai 2006

PENGERTIAN MUZARA’AH

 PENGERTIAN MUZARA’AH
makalah pendidikan
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
 2.    PENSYARI’ATAN MUZARA’AH
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
3.    PENANGGUNG MODAL
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
4.    YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DALAM MUZARA’AH
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 677 - 679.
Terakhir kali diperbaharui ( Thursday, 10 May 2007 )
Bab Musaaqat

Fadly   
Saturday, 12 May 2007
1.    PENGERTIAN MUSAAQAT
Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
2.    PENSYARI’ATAN MUSAAQAT
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman lainnya. (Muttafaqun’alaih).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” (Lalu) Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun berkata, “Kami akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.” (Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 679 - 680.
Bab Syirkah

Fadly   
Tuesday, 15 May 2007
1.    PENGERTIAN SYIRKAH
Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129).
2.    PENSYARI’ATAN SYIRKAH
Allah swt berfirman:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shaad: 24).
“Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS An-Nisaa': 12)
Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).
3.    SYIRKAH SYAR’IYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN)
Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari’at, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689.

Ulumul Hadits

Ulumul Hadits
makalah pendidikan
Pembagian Hadits Secara Umum
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.  
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
 
c. Faedah Hadits MutawatirHadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits MutawatirPara ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir LafziMuhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

Artinya:"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :

Artinya :"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

3. Hadis Mutawatir AmaliHadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
 
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahadMenurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahadPara ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
 
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
 
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
 
1. Hadis SahihHadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.
 
2. Hadis HasanMenurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

3. Hadis DaifHadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
 
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
 
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
 
a. Hadis MaqbulMaqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya: "Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudahc. Hadis nasihd. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihiHadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkanb. Hadis mansuhc. Hadis marjuh.
 
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya: "Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
 
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
 
1. Hadis Muttasil
 
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.Artinya:"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya: "Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

Artinya: "Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.