Selasa, 25 Januari 2011

Ushul Fiqih II

Ushul Fiqih II
makalah pendidikan
Kedudukan dan kemandirian akal dalam penetapan hukum islam
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah, bahwa akal tidak punya wewenang mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan-pembebanan hukum (at-takhlifat), tidak lah berati bahwa akal tidak ada fungsinya. Bahkan akal sangat berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang diberikan oleh Allah SWT(94). Dan perlu diingat bahwasumber-sumber hukum (mazhab as-shahaby, al-Ihtihsan, al- Maslahah waz-Dzara’I. dll) kesemuanya merujuk kepada satu sumber hukum yaitu nash-nash al-Qur’an dan Sunnah[ Abu zahrah, ushul fiqh Abu Zahrah, 94].
Menurut Prof. Abdul Wahab Khallaf, apabila ada peristiwa yang tidak ada nash dalam hukumnya sama sekali, maka peristiwa itu merupakan obyek yang luas untuk melakukan ijtihad[ Dr. K.H Noer Iskandar Al-Barsany, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( Ilmu Ushulul Fiqh, karya Abdul Wahab Khallaf), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. hlm 350 ](350). Lapantgan ijtihad itu ada dua hal : sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali, dan sesuatu yang ada nasnya yang tidak pasti. Disini peranan akal untuk mengetahui hukum dari peristiwa yang tidak ada nashnya sam sekali dan sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti.
Menurut Dr. Saifudin Zuhri, disamping wahyu akal juga memainkan peran penting dalam penetapan ( perkembangan hukum Islam ) jadi sungguhpun sumber utama dari hukum Islam adalah Al-Qur’an dan sumber kedua adalah Sunnah, dalam menentukan hukum Islam banyak dipakai akal. Bahkan sebagai telaah dilihat sumber ketiga adalah ijtihad[ Dr. Saifudin Zuhri, Ushul Fiqh Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2009. hlm 76]. 76
Menurut Najmuddin At-Tufi, visi akal lebih obyektif dalam memposisikan kriteria maslahah ketimbang antagonisme nash antara yang satu dengan yang lainnya. Ini berarti posisi antara akal dan wahyu sejajar atau bahkan diatas nash dalam batasan tertentu. Akal dapat digunakan dalam hal-hal yang tidak ada nash nya sama sekali, atau hal-hal yang tidakada nashnya tetapi dapat dikaitkan hukumnya dengan lafald yang ada dalam nash. Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti[ Ibid, hlm 154]. 154
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok penetapan hukum Islam, kedua hal ini tidak dapat ditinggalkan untuk menentukan hukum syar’i. apabila kedua hal ini di tinggalkan maka termasuk menentukan atau membuat hukum sendiri tanpa ada dalil yang jelas. Namun dari kedua hal ini kemudian dikembangkan pokok penetapan hukum syar’i guna menangulangi permasalahan-permasalahan yang notabenenya tidak ada dalam kedua sumber pokok ini, yaitu melalui jalan Ijtihad (Maslahah Mursalah, Qiyas, dll). Atau dengan kata lain penggunaan akal sangat berperan sangat penting untuk menentukan hukum yang semakin lama semakin membelit dan tidak ada nash yang mengaturnya.
Akan tetapi, ketika menggunakan jalan ijtihad jangan melupakan sumber pokok penetapan hukum yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Meskipun kadang mengunggulkan akal dari pada sumber pokok dalam ranah-ranah tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan syar’i yang telah ada. Penggunaan Akal dalam menetapkan hukum tidak berkenan bila menggunakan emosi dalam penetapannya, apalagi mengacuhkan nash-nash dan mementingkan akal dalam segala bidang. Hal ini tidak diperbolehkan.
Pengertian
Syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang membatasi perbuatan perkataan dan kepercayaan (keimanan)orang-orang mukallaf (orang yang dibebani hukum)[ Ibid, hlm 18] kajiannya meliputi kepercayaan akhlak dan perbuatan-perbuatan mukallaf.
Fiqih adalah
العلم بالأحكام الشرعية العملية مع أدلتها
pengetahuan (mengetahui hukum-hukum syara’ tentang perbuatan beserta dalil-dalilnya. Yang dimaksud Asy-Syar’iyyah adalah hukum-hukum itu diperoleh dari syara’ baik dengan cara mudah ( karena jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun melaui jalan ijtihad) disini pembatasan amaliyyah dimaksudkan bahwa hukum-hukum itu mengenai perbuatan bukan mengenai masalah kepercayaan yang dibahas pada ilmu lain[ Ibid,hlm 9-10]
Qaidah Luqawiyyah adalah qaidah- qaidah yang dipakai oleh ulama’-ulama’ ushul berdasarkan makna, ungkapan-ungkapan yang telah diterapkan oleh para ahli bahasa Arab setelah diadakan penelitian yang bersumber dari kesusastraan Arab[ Depag, Ushul Fiqh, hlm 2]. Kajian qaidah ini adalah untuk mengenai lafald dan makna dalam menentukan suatu perkara.
Qaidah syariyyah adalah qaidah-qaidah yang telah menjadi dasar hukum dari suatu kaum dan jalan hidup yang telah dipakai oleh nabi, sehingga menjadi panutan bagi umat Islam. Kajian dari qaidah ini adalah mengkaji ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang pemilik syar’i.
Ushul Fiqih adalah qaidah-qaidah hukum yang bersifat qauliyyah yang dipetik dari dalil-dalil yang kulli dan maksud syara’ dalam meletakkan mukhallat dibawah bebanan takhlifi dan memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmahnya[ Prof Asmuni Abdurrahman, Qaidah Fiqh, bulan bintang, hlm 2]. Kajiannya adalah menelaah dan memahami dalil yang kemudian hasil dari telaah itu adalah sebuah hukum.
Qaidah Fiqh adalah qaidah-qaidah hukum yang biasa dan bersesuaian dengan bagian-bagiannya[ Ibid, hlm 10-11 ]. Kajiannya qaidah ini adalah qaidah menjelaskan hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf. Berlaku sebagian besar (aghlab) juziyyah, sebagai usaha dan menghimpun ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqh, bersifat wujud setelah ketentuan furu’, bersifat ukuran.
Qaidah Ushul Fiqih adalah qaidah-qaidah yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis hukum ushul fiqh yang terdapat dalil-dalil yang kulli dan maksud syara’ dalam penentuan hukum syar’i. kajiannya adalah qaidah-qaidah hukum dalam menentukan produk-produk syar’I, membahas dalil hukum, berlaku bagi seluruh juziyyah, sebagai sarana istimbath hukum, bersifat prediksi dan kebahasaan.
Pengertian maslahah sebagai tujuan hukum Islam adalah Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh menyebutkan :
والمصلحة المرسلة والإستصلاح هي المصالح الملائمة لمقاصدالشارع الإسلامى ولا يشهد لها أصل بالا عتبار أو الالغاء
Maslahah atau Istihlah yaitu segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syar’i (dalam menentukan hukum)dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakui dan tidaknya[ Saifudi Zuhri, Op Cit, hlm 82]. Contohnya maslahah yang dengan maslahah itu, sahabat mensyari’atkan pengadaan penjara, atau mencetak mata uang atau menetapkan hak milik tanah pertanian sebagai hasil kemenangan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilan[ Noer Iskandar, Op Cit. hlm 123]. dll
Sedangkan maslahah sebagai metode istimbath hukum adalah selanjutnya Abdullah bin Abdul Husein dalam kitabnya merumuskan maslahah mursalah sebagai :
مالم يشهد لها الشرع باعتبارها ولا بإلغاء بدليل معين وكانت فى الأمور التى يدرك العقل معناها.
Maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang tidak jelas diakui atau ditolak oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan ia termasuk persoalan yang dapat diterima oleh akal tentang fungsinya[ Saifudin Zuhri, Op Cit. hlm 83]. Contohnya dalam mengusut kasus pencurian Imam Malik memperbolehkan memukul seseorang yang dicurigai telah melakukan tindak pidana dengan maksud agar ia mengakui perbuatannya.
Dari kedua definisi ini kalu diperhatikan secara seksama mempunyai arti dan maksud yang sama, yang berbeda disini adalah batasan dari pengertian pertama lebih inklusif dan ekslusif. Yakni maslahah bukan maslahah yang dilatarbelakangi pendapat yang dilandasi oleh emosi diri, akan tetapi merupakan maslahah yang sejalan dengan dengan maksudu-maksud syara’
Qiyas sebagai analogi berarti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu hukum yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar persamaan illat atau sebab. Contohnya, haramnya khamar, yaitu minuman keras yang dibuat dari anggur, atas illat memabukkan. Minuman keras lain yang dibuat umpamanya dari kurma atau dari gandum, karena juga memabukkan hukumnya haram[ Ibid, 75].
sedangkan Qiyas sebagai Istimbath hukum berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya[ Abu Zahrah, Op Cit, hlm 336]. Contohnya, sebagian sahabat membaiat Abun Bakar menjadi khalifah sebab Rasulullah pernah memilihnya sebagai Imam sholat. Mereka membandingkan masalah kepemimpinan umat dengan imam sholat. Lebih lanjut mengatakan : kalau Rasulullah saja telah memmilih Abu Bakar untuk masalah agama mengapa kita tidak memilihnya untuk urusan dunia?[ Ibid,hlm 345].
kedua pengertian diatas mempunyai kesamaan dalam maksud yang dituju oleh keduanya. Namun, pengertian yang nomor dua bersumber pada ijma’ disamping dasar-dasar lain yang digunakan. Dalam hal ini tidak terikat atau terpaku pada satu anggapan bahwa hukum-hukum al-Asl itu pasti ber’illat serta perbolehkannya illat[ ].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar